ETIKA
PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah :
Hukum
Bisnis
Disusun
oleh :
Suherlan 114020094
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
Tahun
Ajaran 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia,
perlindungan Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yang senantiasa mendukung
usaha penulis hingga makalah ini selesai dikerjakan. Penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami yaitu Bapak Jaenudin
Umar, SH, MH yang bersedia membantu kami dalam proses pengerjaan dengan
pemberian ide dan materi sehingga makalah ini selesai.
Makalah
ini kami buat dengan tujuan menyuarakan kembali perdebatan etika benar atau
tidak akan hak kekayaan intelektual yang selama ini terkesan tertimbun oleh
banyaknya kasus dan masalah di bidang lain di Indonesia. Penulis meyakini
bahwa masalah ini tidak bisa lagi diacuhkan ketika kita berada di sebuah era
dimana informasi tersebar dengan mudah dan luas yang menandakan semakin
terabaikannya hak kekayaan intelektual di negara hukum Indonesia. Kami berharap
makalah ini dapat membuka wawasan pembaca baik pihak yang secara langsung
berhubungan dengan permasalahan ini ataupun tidak sehingga kita dapat membangun
Indonesia yang lebih baik lagi.
Hormat
kami,
Penulis
Bab
I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang Masalah
Hak
kekayaan intelektual disebut sebagai Intelectual Property Rights (IPR) dalam
bahasa Inggris memiliki makna segala hasil produksi kecerdasan daya pikir dalam
berbagai bidang yang berguna bagi manusia. (wikipedia.org)
Pelanggaran terhadap hak milik intelektual ini telah banyak terjadi dari dulu
maupun pada masa sekarang sehingga berdirilah sebuah organisasi yang mengatur
dan mengontrol agar tidak terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Organisasi ini bernama World Intellectual Property Organization (WIPO).
Indonesia
telah menjadi anggota dari organisasi internasional WTO (World Trade
Organization) yang mana mengatur berbagai macam peraturan maupun prosedur akan
perdagangan dunia dan memiliki visi yang selaras dengan WIPO. Salah satu
perjanjian yang turut disetujui oleh Indonesia sebagai anggota WTO adalah
perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS)
yang mengatur hukum akan Hak Kekayaan Intelektual. Indonesia sebagai negara
berkembang telah diberikan sedikit perkecualian akan persetujuan TRIPS (yang
kemudian dituangkan pada Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2002 ) dimana
impelementasi perjanjiannya dapat diperpanjang hingga 2005.
Namun
sayangnya, WHO melihat bahwa belum ada perubahan signifikan pada beberapa
negara berkembang termasuk di antaranya Indonesia. Seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya akan bentuk-bentuk pelanggaran hak kekayaan
intelektual termasuk pencurian maupun pembajakan, tampaknya masyarakat
Indonesia belum menyadari bahwa beberapa tindakan mereka termasuk kategori
kriminalitas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
mendefinisikan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (pasal 1 ayat 1)
Namun,
hingga saat ini masih banyak sekali terjadi pelanggaran hak kekayaan
intelektual yang terjadi di dunia bisnis baik di luar negeri maupun di
Indonesia. Beberapa contoh pelanggaran hak kekayaan intelektual tersebut
terjadi dalam bentuk pencurian ide ataupun plagiat pada suatu produk maupun
merk terntetu. Sebagai contoh adalah makanan yang sering kita jumpai di
Indonesia yaitu ayam goreng. Ayam goreng atau fried chicken yang paling
terkenal di seluruh penjuru dunia dengan model ayam crispy dan bumbu rahasianya
adalah KFC. Namun saat ini kita dapat dengan mudah membeli ayam crispy yang
serupa di pinggir-pinggir jalan dengan nama yang berbeda-beda serta kualitas
yang berbeda pula. Beberapa di antaranya yang sering kita temui adalah CFC,
RFC, Miami Chicken, C’Best Fried Chicken, dll. Harga yang ditawarkan oleh
merk-merk lain ini lebih terjangkau dan memiliki rasa yang tidak kalah enak
meskipun belum dapat menyaingi rasa dari merk aslinya. Tetapi hal ini tetap
memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan merk asli agar tidak dapat
disaingi dengan mudah oleh merk-merk yang melakukan tindakan yang dapat kita
sebut dengan plagiat ini. Maka dari itu makalah ini akan membahas mengenai
tindakan pelanggaran hak kekayaan intelektual yang terjadi di Indonesia. Apakah
tindakan itu dibenarkan atau disalahkan berdasarkan sudut pandang hukum,
masyarakat dan pelaku bisnis. Selain itu akan dibahas pula dampak-dampak yang
timbul dari tindakan pelanggaran ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana
etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang hukum Republik
Indonesia?
Bagaimana
etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang masyarakat
Indonesia?
Bagaimana
etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang konsumen?
Apa
saja dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi pelaku bisnis?
Apa
saja dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi masyarakat di
Indonesia?
1.3 Tujuan
Mengetahui
bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang hukum
negara Indonesia.
Mengetahui
bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang
masyarakat Indonesia.
Mengetahui
bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang
konsumen.
Mengetahui
dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi pelaku bisnis.
Mengetahui
dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi masyarakat di Indonesia.
Bab
II
Landasan
Teori
2.1 Etika Profesi Bisnis
Etika jika ditilik dari asal usul
katanya, etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/
kebiasaan yang baik . Lebih lanjut etika adalah studi tentang kebiasaan manusia
berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang
menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya disebut juga
filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis
(tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
Etika bisnis adalah suatu cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang meliputi berbagai aspek perorangan atau
individu, perusahaan sampai masyarakat luas. Etika Bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan tata krama perilaku pekerja serta
pimpinan dalam membangun komunikasi yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra
kerja, pemegang saham, masyarakat.
Suatu Instansi meyakini prinsip bisnis
yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan
berkesinambungan yang dijalankan dengan mematuhi nilai-nilai yang tercantum
pada etika tersebut agar selaras dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Didalam dunia bisnis sendiri etika
bisnis dapat digunakan sebagai pedoman dan tuntunan bagi seluruh karyawan
termasuk staf divisi manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur,
transparan dan sikap yang profesional.
Tiga pendekatan dasar dalam perumusan
tingkah laku etika bisnis, antara lain :
Utilitarian Approach : setiap perilaku
didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang
seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat berarti pada
masyarakat, dengan asumsi tidak membahayakan dan biaya seminim mungkin.
Individual Rights Approach : setiap
orang dan kelakuan memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan
ataupun tingkah laku tersebut diharuskan untuk dihindari apabila diperkirakan
akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
Justice Approach : para pembuat
keputusan mempunyai kedudukan yang dam, dan gerinda adil dalam memberikan
pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Di negara Indonesia, setelah mencermati
sumber yang didapat sepertinya etika berbisnis di negara ini belum berjalan
dengan baik. Banyak dari kasus-kasus yang terjadi di negara ini yang mungkin
bisa dipaparkan dan mencerminkan lemahnya etika dalam dunia bisnis di
Indonesia. Masih ingat anda dengan kasus Iklan provider telekomunikasi
Telkomsel dan XL. Ya kedua iklan tersebut menggunakan satu bintang iklan yang
sama ‘SULE’ . Pertama XL mengkomersilkan iklannya dengan produk terbarunya yang
dibintangi aktor tersebut, dan tak selang lama waktu Telkomsel dengan kau
perdananya AS membalas dengan fitur terbaru dari kartu perdana mereka Dengan
mengiklankan produk mereka dengan menggunakan bintang iklan SULE. Padahal pada
kenyataanya tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama
jangka waktu kurang dari 6 bulan, pada intinya di sini terdapat suatu pesan
yang tersirat bajak membajak model dan materi iklan.
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa
sanksi yang diterapkan belum sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat, dan
ketegasan dalam pengambilan langkah hukum bagi para pelakunya dinilai belum
terlalu tegas. Kurang tanggapnya pemerintah terhadap fenomena ini membuktikan
minimnya pergerakkan nyata dari pemerintah, mengingat pemerintah hanya sibuk
memberikan pernyataan-pernyataan yang hanya berwujud ‘lip-service’. Hal seperti
ini sungguh sangat ironis , karena enforcement dari pemerintah yang tidak
begitu jelas dan nampak, bakal menimbulkan banyak masalah di bidang lain.
Mungkin ini adalah angin lalu dan tidak begitu bermasalah dan berdampak pada
anda, tapi coba pikirkan jika etika itu tidak dilakukan pada suatu produsen
makanan, tidak usah melihat jauh pada franchise ataupun produsen lain yang
begitu besar, pasti anda pernah memakan gorengan yang anda beli dipinggir
jalan, pernahkah anda berfikir bagaimana cara membuatnya ?, dari pelaku bisnis
terkecil seperti itupun terdapat beberapa penjual yang melakukan pelanggaran
etika demi meningkatkan pendapatnnya, menggunakan plastik dalam pembuatan
gorengan agar lebih renyah, menggunakan minyak yang berhari-hari sudah dipakai
agar lebih hemat.
Disinilah seharusnya pemerintah di
Indonesia bertindak nyata dan tegas dalam urusan etika berbisnis. Tidak hanya
itu tapi dari sisi konsumen juga harus lebih cerdas dan matang dalam pemilihan
produk yang dibeli, dengan ini diharapkan para pelaku bisnis yang melakukan
pelanggaran etika sadar dan semua pihak bisa merasa aman.
2.1.1 Stakeholder dalam Proses Bisnis
Adapun stakeholder atau aktor-aktor yang
terlibat dan juga turut menentukan arah dari proses bisnis dalam hal Bisnis
terindikasi pelanggaran HKI terbagi menjadi primer dan sekunder. Aktor primer
adalah organisasi itu sendiri, pemasok, konsumen, pemilik, dan pekerja.
Sedangkan aktor sekundernya antara lain
pemerintah, budaya masyarakat, media massa / aktivis, dan kompetitor.
Sesuai dengan signifikansinya aktor-
aktor di atas dengan judul makalah ini maka tim penulis hanya akan membahas
bisnis ini dari sisi organisasi, konsumen, pemerintah ( hukum yang berlaku),
dan budaya masyarakat.
2.2 Hak Kekayaan Intelektual
Pengertian Hak kekayaan intelektual
menurut Saidin, H. OK. adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan
rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial, benda
tidak berwujud.
HKI ini berasal dari Intellectual
Property Rights yang dibahas oleh organisasi World Intellectual Property
Organization (WIPO). WIPO membagi hak kekayaan intelektual ini menjadi 2 bagian
yaitu hak cipta (copyright) dan hak kekayaan industri (industrial
property right). Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala sesuatu
tentang milik perindustrian terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Berdasarkan Saidin, H. OK. dalam Aspek
Hukum Hek Kekayaan Intelektual menggambarkan bagan Hak Kekayaan Intelektual
sebagai berikut :
Adapun hukum akan HKI ini bersifat
teritorial artinya jika didaftarkan di Indonesia maka hukum hanya dapat
melindungi hak nya jika ada pelanggaran di Indonesia. Dalam konteks
makalah ini dimana yang dibahas mengenai bisnis, maka akan lebih sesuai jika
membahas akan Hak Kekayaan industri dimana menurut KamusBisnis.com adalah hak atas kepemilikan
aset industri. Dimana berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan
hak kekayaan industri disebutkan di antaranya adalah: paten, merek, varietas
tanaman, rahasia dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit
terpadu.
2.3 Undang-Undang Hak Kepemilikan
Intelektual di Indonesia
Indonesia memiliki keanekaragaman seni
dan budaya yang sangat kaya sehingga sangat perlu adanya perlindungan dari
negara dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu melalui undang-undang yang
diatur nomor 19 tahun 2002 tentang hak kepemilikan. Pada bab 1 dibahas mengenai
ketentuan umum yang mengatur mengenai undang-undang dari hak cipta. Bab 2
membahas mengenai fungsi dan sifat hak cipta. Bab 3 mengatur mengenai masa
berlaku hak cipta, Bab 4 mengenai pendaftaran ciptaan, Bab 5 tentang
lisensi, Bab 6 mengenai dewan hak cipta, Bab 7 Hak terkait, Bab 8 pengelolaan
hak cipta, Bab 9 mengenai biaya. Sedangkan Bab 10 mengatur mengenai penyelesaian
sengketa, Bab 11 penetapan sementara pengadilan, Bab 12 penyidikan, Bab 13
mengenai ketentuan pidana, Bab 14 ketentuan peralihan, dan Bab 15 adalah
ketentuan penutup.
Berdasarkan bab serta pasal yang
terdapat undang-undang nomor 19 tahun 2002 ini dapat dilihat bahwa seluruh
ketentuan mengenai pelanggaran ini telah diatur dengan lengkap. Mulai dari
bentuk pelanggarannya, penetapan sementara sengketa, penyelesaian sengketa
hingga tindak pidana yang akan diberikan atas pelanggaran hak kepemilikan
intelektual tersebut.
Sebagai contoh terdapat pasal 72 ayat 1
yang berisikan mengenai tindak pidana yang akan diberikan pada pelaku, yang
berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan
tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”
dimana Pasal 2 ayat (1) berbunyi:
“Hak kepemilikan merupakan hak
eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak kepemilikan untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Dan pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi:
“(1) Pelaku memiliki hak eksklusif
untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya
membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar
pertunjukannya.
(2) Produser Rekaman Suara memiliki
hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa
persetujuannya memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau
rekaman bunyi.”
Pernyataan di atas sebenarnya sangat
sering kita jumpai di dalam buku-buku terbitan pengarang di Indonesia atau pun
buku terbitan Luar Negeri. Hal tersebut di tujukan kepada masyarakat agar
mereka tidak melakukan pencurian terhadap karya milik orang lain.
BAB III
PEMBAHASAN
4.1 Etika
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dari Sudut Pandang Hukum Negara Indonesia
Sesuai dengan pembahasan landasan teori
dapat diketahui bahwa pencurian / pembajakan ide tau hak kekayaan intelektual
dengan berbagai cara yang telah dijelaskan dalam pasal-pasalnya adalah suatu
kejahatan yang melanggar UU nomor 19 tahun 2002. Sehingga seharusnya di
Indonesia tidak ada praktik pelanggaran HKI.
Namun yang harus kita ketahui, bahwa
untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual di Indonesia maka pelaku harus
terlebih dahulu mendaftarkan kepada DJHKI (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual). Jika belum mendaftar, maka segala bentuk perlindungan HKI tidak
bisa kita dapatkan. Selain itu jika ingin mengajukan gugatan pihak penggugat harus
memiliki bukti-bukti yang kuat dan tentu saja harus ada modal untuk menyewa
pengacara.
Kendala inilah yang mengakibatkan Usaha
Mikro Kecil Menengah sangat rentan tidak terlindungi oleh payung hukum sebab
pendaftaran HKI membutuhkan waktu dan biaya dan jika mengajukan gugatan pun
dibutuhkan biaya yang tidak kecil pula. Akibatnya tidak ada yang bisa dilakukan
UMKM untuk menyuarakan haknya, di sinilah celah hukum yang sayangnya
dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang kurang bertanggung jawab.
Selain itu celah hukum HKI ini sangatlah
luas. Sebuah ide adalah sesuatu yang sifatnya sangat abstrak dan kompleks.
Sehingga untuk divonis sebagai pencuri ide, harus dibuktikan dengan kompleks
pula, hal ini sangat berbeda ketika kita akan memidanakan pencuri barang.
Perkara HKI ini juga terganjal akan
status berlakunya yang sayangnya hanya berlaku di tempat HKI tersebut
didaftarkan. Seperti kasus Daniel Mananta dari brand miliknya. Brand “Damn,
I Love Indonesia” bahkan di produksi di Negara lain dengan tulisan nama
dari negara itu. Meskipun sudah didaftarkan di DJHKI, jalan mencari keadilan
pada hukum rupanya berliku sebab tidak bisa berlaku di Internasional.
Tetapi dalam beberapa kasus, terlihat
bahwa hukum akan HKI ini berlaku dan telah ditegakkan. Salah satu contoh kasus
adalah kasus yang menyangkut merk “LOTTO”. Perusahaan ini dikenal sebagai
perusahaan luar negeri yang menjual pakaian jadi dan telah terdaftar di
Indonesia. Tidak beberapa lama kemudian muncul sebuah perusahaan lain yang
menjual handuk dan memiliki nama yang sama dengan “LOTTO”. Tindakan ini secara
jelas merugikan perusahaan pemilik merk itu sebenarnya area barang yang mereka
jual secara jelas berbeda.
Perusahaan pemilik merk asli LOTTO itu
akhirnya mengajukan tuntutan kepada pengadilan negeri. Sayangnya pihak
pengadilan negeri menolak karena mereka menganggap penuntut tidak beralasan.
Kemudian mereka mengajukan kasus ini kepada pihak Mahkamah Agung dan
mendapatkan hasil yang positif. Pihak Mahkamah memiliki pendapat yang sama
bahwa tindakan tersebut melanggar karena meskipun barang yang mereka jual
berbeda namun memiliki jenis yang sama yaitu kelengkapan berpakaian. Beberapa
Undang-undang yang telah berlaku di Indonesia juga turut mendukung kesalahan
dari pihak yang memiliki merk sama tersebut. Beberapa pasal tersebut adalah:
– Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Merk
tahun 1961 menentukan, “hak atas suatu merek berlaku hanya untuk
barang-barang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi merek itu.”
– Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Merek
tahun 1961 “tuntutan pembatalan merek hanya dibenarkan untuk barang-barang
sejenis.”
4.2 Etika
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dari Sudut Pandang Masyarakat Indonesia
Seperti yang telah tim penulis ceritakan
di bab pendahuluan akan peran Indonesia sebagai salah satu anggota WTO yang
secara tidak langsung menyatakan komitmen Indonesia akan memerangi segala
bentuk pembajakan, pencurian yang mana dinyatakan melanggar hak kekayaan
intelektual. Sayang sekali sejak UU itu dikeluarkan hingga sekarang belum ada
kemajuan yang cukup signifikan akan perlindungan HKI.
Banyak sekali kasus akan pelanggaran HKI
yang dilakukan oleh individu , misalkan saja penggunaan software komputer
bajakan, pembelian DVD film maupun lagu bajakan,mengunduh lagu-lagu secara
gratis, mengambil gambar orang lain dan kemudian menggunakannya secara pribadi
maupun diupload di situs-situs sosial merupakan hal-hal kecil yang terjadi
sehari-hari di masyarakat Indonesia, dan agaknya kebiasaan yang turun menurun
ini kemudian menjadi sebuah budaya. Budaya yang kemudian dibenarkan oleh
masyarakat Indonesia sebab tidak sadar akan apa salahnya melakukan hal-hal
tersebut.
Pembelaan yang diungkapkan oleh
masyarakat akan budaya pembajakan ini adalah ekonomi. Dengan keadaan ekonomi
yang bisa dibilang kurang, maka masyarakat menengah ke bawah tentunya tidak
mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan maupun pendidikan yang mahal ketika
mereka harus membeli barang ataupun lagu/film/ gambar yang asli.
Perlu dicermati bahwa saat ini Indonesia
sudah mulai dinominasikan sebagai negara maju, bukan lagi negara berkembang.
Ekonomi Indonesia yang berkembang pesat akhir-akhir ini (meskipun pada Agustus
2013 mulai terlihat gejolak krisis ekonomi) tidak juga meluruhkan budaya
pembajakan dan pencurian HKI ini.
Dari budaya yang tampaknya sepele dan kecil
ini, kemudian berkembang menjadi besar. Seperti pelanggaran HKI pada bisnis.
Mulai dari bisnis kecil –menengah , misalkan saja di kota Malang pada tahun
2012 muncul bisnis minuman Capuccino Cincau yang hanya dijual di pinggir jalan
kemudian diminati oleh masyarakat, seketika itu banyak sekali capuccino cincau
– capuccino cincau yang lain tersebar di mana-mana, padahal mereka membajak ide
tentang minuman tersebut hingga contoh kasus usaha skala besar seperti
franchise ayam goreng.
4.3
Etika Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dari Sudut Pandang Konsumen
Banyaknya pengusaha yang memutuskan
untuk menggeluti bisnis yang melanggar hak kekayaan intelektual ini
rupanya disebabkan oleh minat pasar atau minat konsumen yang besar pula.
Buktinya sampai saat ini banyak sekali bisnis yang berjalan di bidang itu dan
buktinya ramai-ramai saja dan bahkan terbilang sukses.
Saat ini marak sekali usaha produksi
barang tiruan yang dikenal dengan nama KW yang marak terjadi di Indonesia.
Mulai dari baju, kosmetik, sepatu, sandal dan lain-lain yang sudah jelas
melanggar HKI. Tapi tampaknya hal ini bukan masalah besar bagi konsumen, mereka
tetap saja membeli merk-merk gadungan tersebut. Konsumen tidak takut ataupun
merasa bersalah membeli barang-barang KW , malah mencari dan menanti barang KW
sebab harganya lebih murah, tetapi bisa mendapatkan nama dari merk terkenal.
Memang sebagian besar konsumen ini adalah menengah ke bawah yang tidak begitu
peduli akan HKI dan bisa dikatakan kurang menghargai hasil karya orang lain. Tetapi
yang patut diperhitungkan adalah konsumen kelas menengah yang memiliki pilihan
untuk membeli barang asli atau palsu. Dan dari observasi tim penulis baik dari
observasi kehidupan nyata tim penulis, maupun observasi bisnis pasar online
menunjukkan banyaknya permintaan pasar akan produk-produk tiruan.
Intinya bagi konsumen sah-sah saja
bisnis yang menyalahi aturan HKI. Asalkan kebutuhan mereka akan barang yang
kualitasnya lumayan, murah, dan tetap memiliki nama bergengsi bisa terpenuhi.
Permasalahan hak yang terlanggar hampir tidak dipedulikan.
4.4 Dampak
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Bisnis
Dunia bisnis yang terkenal begitu kejam
walaupun berisikan kalangan yang terpelajar dan eksekutif. Saatnya berkaca pada
cermin Indonesia negara kita Dimana kita berada, saat ini begitu menjamur
bisnis pribadi dan franchise. Bisa dilihat ada beberapa mungkin hampir semua
bisnis propietory (perorangan) yang mengorbit di dunia bisnis dengan mengadopsi
nama perusahaan bisnis dari luar negeri, bahkan sampai seluruh proses bisnisnya
dan barang yang ditawarkan.
Pernahkah anda mendengar Frenta Cola,
Oriorio, Blueberry, Balibong ? , mungkin anda kurang terlalu akrab dan asing
mendengar merk tersebut, tentunya anda akan lebih sering mendengar Fanta, Coca Cola,
Oreo, Blackberry dan Billabong. Merk diatas adalah jiplakan pelaku bisnis
Indonesia yang meniru nama dari merk terkenal yang laku dipasaran luas.
Pada dasarnya para pelaku bisnis
tersebut bukan tanpa alasan untuk melakukan suatu pelanggaran etika seperti
itu, mereka sebenarnya sadar dan mungkin malah bermaksud melakukannya untuk
kepentingan bagi kegiatan bisnisnya. Tim penulis akan mencoba mengupas apa
sebenarnya dampak – dampak yang didapatkan oleh pelaku bisnis, baik dampak
positif yang mana mendasari para pelaku bisnis ini menggeluti usaha yang
melanggar HKI, maupun dampak negatifnya.
Dampak Positif bagi pelaku bisnis
pelanggar HKI :
–
Dapat meningkatkan nilai jual produk
Dikarenakan mengadopsi nama dari salah
satu Brand terkenal, maka dengan otomatis pamor dari usaha tadi juga ikut
terangkat. Memang terkadang hal ini hanya bisa terjadi pada orang-orang yang
tertipu atau kurang taunya informasi tentang pasar. Tetapi terkadang kalangan
yang seperti itu lebih memilih produk tiruan tersebut dengan alasan bisa
menikmati kualitas yang hampir sama dengan yang asli namun dengan harga yang
jauh lebih murah. Dampak positif ini paling dirasakan ketika perusahaan menjual
produk KW ( tiruan) yang juga menjiplak nama merk.
–
Permintaan konsumen yang tinggi
Salah satu alasan mengapa pelaku bisnis
bidang ini membenarkan apa yang dilakukannya adalah karena tingginya permintaan
konsumen yang terutama dari kelas menengah ke bawah. Karena tingginya
permintaan inilah bisnis yang dilakukan menjadi beretika dan sah-sah saja di
pandangan mereka.
–
Tuntutan memenuhi kebutuhan hidup
Tingginya rivalitas dan ketatnya
kompetisi di dunia bisnis menyebabkan beberapa pihak terutama pemain bisnis
skala kecil-menengah menjadi kalah bersaing dengan pemain bisnis kelas atas.
Seperti pertandingan tinju kelas atas melawan kelas bawah, tentu saja mereka
akan kalah telak. Sehingga alternatif untuk bertahan hidup adalah dengan
menggeluti bisnis ini.
Dampak Negatif bagi pelaku bisnis
pelanggar HKI :
–
Pandangan negatif konsumen
Terkadang ada beberapa konsumen yang
mengerti akan kualitas, prestis dan memandang nilai etika akan lebih memilih
produk yang asli. Realitanya tidak sedikit usaha-usaha tiruan ini gulung tikar
dan sepi pembeli. Selain itu konsumen yang memandang negatif akan pembajakan
ide bisnis kemungkinan besar akan melabeli pemilik usaha sebagai orang yang
tidak beretika dan akibatnya masa depan bisnis pemilik pun terancam gagal.
–
Membunuh Kreatifitas
Semakin banyak perusahaan yang meniru
maka perkembangan dunia bisnis khususnya industri, akan melemah dari sisi
kompetensi keahlian kreativitas para pekerja. Padahal kreatifitas adalah salah
satu unsur yang mempertahankan serta memajukan bisnis. Mungkin dalam jangka
pendek usaha mereka berhasil, namun dalam jangka panjang belum tentu demikian.
–
Terancam ditindak pidana
Selama ini bisnis yang melakukan
pelanggaran HKI masih bisa bertahan di Indonesia dikarenakan beberapa
kemungkinan seperti tidak ditegakannya hukum secara tegas, korban penjiplakan
tidak mengajukan tuntutan atau belum mendaftarkan hak ciptanya.
Ketika nantinya hukum sudah kembali
ditegaskan ataupun korban mulai merasa terugikan maka jalan hukum pasti akan
ditempuh, sehingga pemilik bisnis malah akan merugi sebab harus membayar ganti
rugi ataupun tersanksi dipenjara.
4.5 Dampak
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual bagi Masyarakat Indonesia
Peredaran barang illegal yang melanggar
kekayaan intelektual dapat merugikan bagi pasar yang potensial dan juga
masyarakat. Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain
dapat merugikan para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan
penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Masalah ini
sudah menjadi sebuah tuntutan masyarakat Internasional terhadap bangsa dan
negara Indonesia yang dinilai masih rendah dalam menghargai HAKI.
Kasus-kasus pencurian dan pelanggaran
hak cipta tentunya sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Pada tahun
2011, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan
HAM menilai bahwa pelanggaran hak cipta berpotensi merugikan negara melampaui
100 miliar rupiah. Dengan bukti ditanganinya 60 kasus berupa pemalsuan merek
mauapun sengketa paten. Dalam kasus tersebut, kasus pelanggaran hak cipta lah
yang paling sering di jumpai dan sangat merugikan negara serta masyarakat
Indonesia.
Apabila terjadi suatu pelanggaran hak
cipta oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka pelanggaran itu harus
diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang hak cipta UU No. 19
Tahun 2002 yang mengatur segala jenis pelanggaran serta ancaman hukumannya,
baik secara perdata maupun pidana. UU ini hanya diberikan kepada pemilik
pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain ada yang mengaku sebagai pihak
yang berhak atas hak cipta, maka pemilik pertama harus membuktikan bahwa dia
sebagai pihak yang berhak atas hasil ciptaan tersebut.
Setiap pelanggaran hak cipta pasti akan
merugikan pemiliknya dan kepentingan umum atau negara. Contohnya dalam kasus
yang terjadi pada tahun 2001, menurut survey Asosiasi Industri Rekaman
Indonesia, lebih dari 90% CD dan VCD merupakan bajakan atau pelanggaran hak
cipta. Apabila pajak stiker per keeping VCd sekitar Rp 2.000.000,00 (menurut
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep. 552/PJ./2001), kerugian yang
dialami oleh sektor pajak untuk bidang music mencapai 4 miliar rupiah
perharinya. Uang miliaran rupiah itu tentu tidak dapat digunakan, sebab jumlah
tersebut merupakan kerugian, bukanlah pendapatan negara. Bisa dibayangkan bukan
apabila pendapatan negara sebanyak itu? Tentu kita tidak akan menemui
gedung-gedung sekolah yang tidak layak pakai, puluhan ribu anak miskin yang
tidak mampu bersekolah dan masih banyak lagi hal-hal lain yang bisa digunakan
untuk kepentingan bersama.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak
cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan kehidupan bangsa di bidang
ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya, misalnya dampak
semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan bahwa
pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak
lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang Pelanggaran hak cipta selama
ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang karena ia dapat
memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar
(pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan
tindak pidana hak cipta.
Akibat dari pelanggaran tersebut, selain
merugikan kepentingan para pencipta, juga masyarakat dan negara dalam
penerimaan pajak atau devisa. Adanya hukum pidana sebenarnya di dasarkan pada
tujuan ekonomi dan penegakan hukum, yaitu untuk mengurangi seminimal mungkin
biaya sosial yang merugikan para korban akibat dari pelanggaran hak cipta itu
sendiri. Artinya, hukum pidana diharuskan membayar biaya sosial yang sama
jumlahnya dari pelanggaran yang di sebabkan pelanggaran dan biaya
pencegahannya. Biaya sosial ini sangat dirasakan oleh para pencipta dan akan
berdampak merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan satra. Karena
para penciptanya menjadi tidak bergairah lagi untuk meningkatkan karya
ciptanya.
Konklusinya betul bahwa permintaan pasar
dan budaya Indonesia saat ini membenarkan pelanggaran HKI, tetapi dalam efek
jangka panjangnya justru hal ini akan merugikan masyarakat dan negara dari sisi
ekonomi, serta menurunkan derajat negara Indonesia sebagai negara hukum yang
harusnya melindungi setiap warga yang hak nya terlanggar. Dan bukan tidak
mungkin pula dalam jangka panjang Indonesia akan sepi investor asing
dikarenakan isu etika ini dan kebutuhan masyarakat pun tidak terpenuhi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan
penulis akan mencoba memberikan kesimpulan untuk menjawab pertanyaan apakah
pada akhirnya pelanggaran hak kekayaan intelektual ini dibenarkan atau tidak.
Sesuai dengan hakikat bisnis yang berhubungan dengan beberapa stakeholder, maka
etika benar atau salah pun terkait dengan aktor yang ada dalam lingkup primer
dan sekunder dimana primer lebih berpengaruh dalam jalannya bisnis.
Pada stakeholder primer terdapat sudut
pandang organisasi pelaku bisnis dan konsumen yang penulis bahas. Dari
pembahasan terlihat bahwa tindakan pelanggaran hak kekayaan Intelektual ini
dibenarkan oleh organisasi juga oleh konsumen. Organisasi membenarkan sebab
keadaan ekonomi yang kurang kondusif serta keadaan pasar yang sangat mendukung
adanya bisnis ilegal ini. Sedangkan konsumen membenarkan etika ini sebab belum
adanya kesadarkan akan hak kekayaan intelektual serta didukung oleh budaya
masyarakat.
Sedangkan pada lingkup sekunder penulis
membahas pemerintah, dalam hal ini hukum dan masyarakat secara luas . Dari sisi
pemerintah / hukum praktik bisnis ini jelas merupakan ilegal dan terlarang.
Namun banyaknya celah dalam hukum serta dalam praktiknya hukum tidak tegas
berdiri menjadikan argumen hukum menjadi lemah. Belum lagi dari pihak
masyarakat secara luas terlihat bahwa budaya akan melanggar atau acuh akan hak
kepemilikan intelektual sudah mendarah daging yang akhirnya menyuarakan bahwa
praktik bisnis ini sah-sah saja.
Selain memperhatikan argumen etika benar
salah pada kejadian saat ini, hendaknya kita mampu menarik konklusi akan etika
benar salah dengan melihat dampak-dampak yang akan terjadi di masa mendatang.
Dari segi dampak yang ditimbulkan dari tindakan pelanggaran hak kekayaan
intelektual ini dibagi menjadi 2 yaitu dampak jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk jangka pendek pihak yang akan dirugikan adalah memang hanya pihak yang
menjadi korban dari penjiplakan atau peniruan ide. Namun untuk jangka
panjangnya tindakan ini sangat memungkinkan akan memberikan dampak yang
merugikan bagi masyarakat, negara dan pelaku bisnis seperti yang telah
dijelaskan pada bab IV.
5.2 Saran
5.2.1
Pemerintah
Pemerintah diharapkan dapat melakukan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai hak kekayaan intelektual sehingga
masyarakat dapat mengerti hukum yang berlaku di Indonesia sekaligus memahami
pentingnya hak kekayaan intelektual setiap individu maupun organisasi. Selain
itu pelaksanaan dan pemberian ganjaran dilakukan dengan lebih tegas sehingga
para pelaku bisnis tidak melakukan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Selain
itu pemerintah dapat juga membentuk sebuah badan hukum independen yang secara
khusus bertugas mengatur dan mengawasi seluruh bisnis yang terdapat di
Indonesia.
Dan penulis juga menyarankan pemerintah
mempermudah akses pendaftaran HKI kepada pelaku bisnis UMKM dari sisi biaya dan
juga prosesnya.
5.2.2
Masyarakat
Masyarakat disarankan lebih peduli akan
tindakan pelanggaran HKI, baik dari pengawasan akan adanya usaha yang melanggar
HKI juga mempraktikkan tindakan menghargai HKI dengan membeli produk yang asli.
5.2.3
Pelaku Bisnis
Bagi para pelaku bisnis sebaiknya
mendaftarkan bisnisnya sehingga bisnis yang dimiliki terlindung oleh hukum
serta mengurangi adanya pelanggaran hak kekayaan intelektual yang dilakukan
oleh pihak lain. Selain itu pelaku bisnis diharapkan memiliki rasa yang kreatif
dan inovatif sehingga menciptakan ide-ide bisnis yang baru tanpa melakukan
peniruan dari bisnis yang telah ada mengingat kerugian-kerugian yang didapatkan
apabila praktik pelanggaran HKI tetap dilaksanakan.
5.2.4
Penulis dan peneliti selanjutnya
Untuk penulis serta peneliti selanjutnya
diharapkan dapat secara lebih detail dalam membahas persoalan pelanggaran hak
kekayaan intelektual serta melengkapi hal-hal yang tidak tercantum pada makalah
ini.
Daftar pustaka
Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik
Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Syafrinaldi. 2010. UIR
Press. ISBN
979-8885-40-6
Saidin, H. OK. S.H., M. Hum, Aspek
Hukum Hek Kekayaan Intelektual (Intellectual
PropertyRights), Edisi
Revisi 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Online, Assese Kevin (2008), Dampak
Pelanggaran Hak Cipta, http://kevint-blog.blogspot.com/2008/08/dampak-pelanggaran-hak-cipta_25.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar